Sispena – Kondisimu Saat Ini

Kontributor: Anks Phow

Pagi itu sebuah SMS membangunkan saya dari tidur. Setelah kubaca ternyata SMS tersebut meminta saya untuk hadir dalam acara tasyakuran untuk memperingati hari bumi dan renovasi sekret baru yang diadakan di rumah Wawa-ketum SISPENA sekarang. Renovasi sekret baru? Berarti SISPENA punya sekretariat baru yang sudah direnovasi? Pikir saya ketika itu. Memang, beberapa bulan yang lalu saya berkunjung ke sekolah dan sempat kebingungan melihat “rumah” saya menjadi tempat pipis dan buang hajat hampir tiap hari oleh para siswa.

Apa aku salah jalan ya? Ah tidak, ini benar kok! Tiga tahun gelibet disini tidak mungkin aku lupa, pikir saya ketika itu. Sontak, aku langsung bertanya pada punggawa SISPENA yang tanpa sengaja aku temui ketika itu. Ia mengatakan bahwa sekretnya sudah di ratakan dengan tanah dan diganti dengan membangun toilet. Wow! Itu toilet ketujuh yang dibangun oleh sekolah akhir-akhir ini.

Lha terus skretnya di kemanakan? Ia menjawab sekretnya sekarang sudah dipindah kedepan mas, katanya. Pindah kedepan? Pasti mengasyikkan karena aku tak lagi harus melewati birokrasi yang ribet untuk berkunjung kesekret dan semakin mudah di akses, pikirku. Tapi ya gitu mas, ia melanjutkan, sekretnya cuma cukup buat satu kursi dan meja saja. Lho?

***

Kira-kira seperti itulah gambaran awal ketika akhirnya para punggawa SISPENA memutuskan menyulap sebagian rumah Wawa untuk dijadikan sekretariat. Memang yang di ubah menjadi sekret adalah bekas toko. Letaknya pun sedikit terpisah dari rumah Wawa, namun masih dalam satu pagar rumah Wawa.

Sedikit banyak saya sangat memahami betapa keberadaan sekretariat begitu vital bagi SISPENA. Ide-ide brilian selalu mencuat diwaktu yang tak pernah diduga, tetapi selalu pada moment ketika kumpul bersama di sekretariat. Belum lagi sekretariat selalu menjadi rumah kedua bagi para punggawa SISPENA pun dengan alumni. Bisa dibayangkan bagaimana ketika kita ingin pulang namun tidak tau harus pulang kemana.

Saya sangat merasakan dulu, ketika masih aktif bergeliat di SISPENA. Bagaimana kemudian SISPENA menjadi tujuan utama ketika aku mulai bingung harus kemana, ketika bingung apa yang harus aku lakukan, ketika aku tak tau dengan siapa aku harus bicara, bercanda ataupun hanya sekedar menghabiskan waktu luang, yang terlintas hanya sekret, sekret dan sekret.

Ada sebentuk keyakinan yang menjalar di tubuhku ketika itu. Aku tak pernah tau apakah ketika aku kesekret akan mampu mengusir sepi yang kurasakan, tapi yang kutahu pintunya selalu terbuka. Aku tak pernah tau apakah ketika aku kesekret akan ada yang aku kerjakan, tapi yang kutahu selalu ada yang kurang disini. Aku tak pernah tau apakah ketika aku kesekret ada seorang kawan yang menemani aku ngobrol, tapi yang kutahu ketika tidak ada kawan aku hanya perlu menunggu paling tidak 30 menit untuk kemudian merencanakan ide-ide konyol ala anak SMA.

Ya, inilah pola komunikasi yang sempat aku jalani dulu, dan pola komunikasi yang kami jalankan adalah pola komunikasi tingkat tinggi. Kenapa tingkat tinggi? Bayangkan tidak ada hand phone, apalagi facebook! Namun kebersamaan kami mampu menembus dimensi tekhnologi. Sampai hari ini saya yakin semua itu terbangun dari ruang sempit berukuran 3x4m.

Kalau saya istilahkan sekret itu bagaikan lumpur hisap. Karena begitu kita masuk, kaki kita akan terasa berat untuk dilangkahkan keluar. Tentu, bukan berat karena kita terlalu malas pulang kerumah, namun lebih pada, begitu tidak ingin kita melepaskan suasana kebersamaan yang mampu melahap waktu dengan cepatnya.

Dan hari ini, aku tak tau dan tak ingin tau seberapa kuat para punggawa SISPENA mempertahankan SISPENA itu sendiri tanpa memiliki sekretariat dengan pintu yang selalu terbuka. Aku tak ingin tau, tentu bukan karena aku tak lagi peduli dengan organisasi yang turut berperan penting dalam hidupku. Namun, aku terlalu tidak siap untuk mendengar cerita-cerita para punggawa SISPENA tentang kita, kami, dan mereka yang tak mampu mempertahankan ekisistensi SISPENA karena tidak ada tempat untuk berkumpul dengan bebas.