Cagar Alam untuk Keragaman Hayati

Bayangkan jika kita tak punya apa-apa kecuali tanah yang subur, yang dilalui sungai kecil, yang ditumbuhi padi, yang mendapat matahari sepanjang tahun, yang di depannya ada laut luas membentang.

Kemudian seseorang bertanya:

Berapa persen dari tanah itu yang akan dilandasi rumah? Berapa persen yang akan dilandasi toko? Berapa persen yang akan dilandasi taman bermain? Berapa persen yang dibiarkan liar untuk kepentingan bersama?

Jawabannya pasti bermacam-macam. Namun persentase ‘yang dibiarkan liar’ bisa jadi merupakan pilihan yang terakhir. Atau ‘yang dibiarkan liar’ bukanlah prioritas.

Pertanyaan ini merupakan inti perdebatan 190 delegasi di 10th Conference of the Parties of the Convention of Biological Diversity (COP10) di Nagoya yang berlangsung pada 18 – 29 Oktober 2010. Pertanyaannya: Berapa persen tanah dan laut dari negara yang dapat digunakan untuk suaka (sanctuary) demi kepentingan bersama?

Mengapa kita membutuhkan suaka?

Asosiasi Internasional untuk Konservasi Alam (IUNC) menyatakan bahwa sepertiga dari 52,000 spesies yang hampir punah (endangered species) telah kehilangan habitat. Punahnya sekitar 17,000 spesies ini disebabkan oleh eksploitasi tanah dan laut, yang terjadi 1,000 lebih cepat dari kehancuran karena sebab-sebab alami, misalnya bencana alam. Ahmed Djoghlaf, sekretaris eksekutif dari Konvensi Keanekaragaman Biologis (CBD), juga menyatakan bahwa 75% sumber makanan musnah dalam 100 tahun terakhir.

Apa penyebab kehancuran tumbuhan dan hewan ini? Jawabannya jelas: manusia. Tetapi bukankah manusia memanglah harus mempertahankan hidup dengan mencari dan mengolah sumber pangan?

Benar. Namun demikian, pencarian dan pengolahan ini lebih merupakan dukungan ‘rasa ingin makan’ daripada bertahan hidup. Bacalah buku karangan Jonathan Safran Foer berjudul Eating Animals (2009). Ia menulis bahwa penangkapan ikan salmon di seluruh dunia naik 27% antara 1988 dan 1997. Mengapa penangkapan ikan salmon meningkat? Ini disebabkah oleh permintaan pasar akan salmon: orang ingin makan salmon karena orang lain memakannya.

Proses memperoleh sumber makanan ini juga dipercepat dengan industrialisasi yang dimulai pada akhir abad ke-19. Karena industrialisasi ini, setiap jengkal tanah dan setiap kubik laut dapat dimanfaatkan. Hari ini sumber-sumber makanan dan energi relatif mudah ditemukan, seperti halnya salmon di atas. Yang seringkali dilupakan adalah kapan kita harus membatasinya.

Namun, bagaimana hendak membatasi jika syaratnya pun tidak ada?

Nah, COP10 ingin menghasilkan konsensus tentang berapa persen area negara yang ingin dijadikan cagar alam. Cagar alam merupakan wilayah yang tidak boleh dimanfaatkan lagi. Ini merupakan pembatasan secara tidak langsung. Namun tidak semua negara bersedia menyisakan kawasannya untuk membatasi eksploitasi sumber pangan.

Jepang menyatakan mampu memberikan 15%. Namun, tetangga Jepang yang tanahnya lebih luas, yaitu Republik Rakyat Cina (RRC), enggan menyisakan lebih dari 6% untuk suaka keragaman hayati (biodiversity sanctuary). Hal ini wajar karena RRC atau negara lain yang mengalami industrialisasi pesat, atau pun negara yang arealnya kecil, memang sulit untuk menyumbangkan ‘sejengkal’ area ke dunia.

Pada akhirnya, pilihan dilematis selalu muncul: keragamanan hayati atau industrialisasi? Dulunya COP telah mentargetkan 10%. Namun target 10% belumlah tercapai tahun ini. Seperti halnya penetapan batas karbon dalam Kopenhagen Accord 2009, persentase suaka keragaman hayati memang sulit ditentukan, meski ancaman terhadap hidup manusia sebenarnya sudah di depan mata.

Jepang lebih siap karena pemahaman tentang ‘menyisakan area untuk suaka’ sesuai dengan Satoyama Initiative, sebuah konsep yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara urbanisasi dan konservasi alam. Konsep ini sudah mendarah daging di Jepang. Satoyama Initiative punya tiga pendekatan:

  • Membangun pengertian dalam menyelamatkan ekosistem
  • Menggabungkan pengetahuan ekologi tradisional dengan sains modern
  • Membuat kerangka kerja yang terdiri dari pemilik tanah dan penduduk

Satoyama berasal dari kata ‘sato’ (desa atau kampung) dan ‘yama’ (gunung, hutan, padang rumput). Targetnya sederhana: Membangun keberadaan lahan yang merupakan antarmuka (interface) antara manusia dengan alam. Sebenarnya konsep ini sudah ada di pelbagai negara. Di Indonesia dan Malaysia, konsep antarmuka ini bernama kebun atau pekarangan; di Filipina, ia bernama muyong; di Perancis, ia bernama terroir. Ini berarti bahwa penyisaan area sudah menjadi bagian hidup banyak negara.

Penyisaan area ini juga dapat dilihat dengan banyaknya hutan kota, taman kota atau suaka margasatwa. Namun, jumlahnya belum banyak, dan penyisaan area ini bukan untuk kepentingan internasional. Ia masih di bawah kekuasaan negara.

Yang jadi pertanyaan adalah jika negara menyumbangkan kawasannya untuk kepentingan internasional bagaimana protokol untuk pengelolaan dan pemeliharaan hayati di dalamnya? Belum lagi jika area ini masih didiami orang asli. Di Jepang penduduk suku minoritas bernama Ainu di pulau Hokkaido semakin terdesak. Dapatkah mereka bertahan hidup di area itu? Masalahnya jadi jauh lebih sulit dari sekedar masalah area.

Seorang fotografer bawah laut sedang mengabadikan penyu di kedalaman 13 m. Lokasi penyelaman: pulau Maratua, kepulauan Derawan, Kalimantan Timur, Indonesia. Fotografer: Darmawan Ahmad Mukharror (Total Indonesie).

Kontributor: Arief, Sispena-17

Artikel dimuat di koran Berita Harian, Singapura

Leave a comment